Pengertian korupsi
Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan
negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi telah ada sejak lama
dengan berbagai metode dan modus operandi yang digunakan yang telah
bertransformasi seiring dengan perkembangan zaman, namun tak menghilangkan makna
dasar dari tindak pidana korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang
merugikan keuangan negara.
Sistem pencegahan dan lembaga pemberantas korupsi di
Singapura
Singapura hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yaitu CPIB (Corrupt
Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah
dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi.
Hasilnya pun juga sudah terlihat jelas bahwa pemberantasan dan pencegahan
korupsi di kedua negara tersebut cukup efektif dan efisien. Berdasarkan data CPI
(Corruption Perception Indeks) yang bersumber dari Transparency Internasional Singapura
memiliki skor 85 dan berada pada peringkat ke-3.
Di Singapura regulasi untuk mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan
dengan korupsi dibagi menjadi 2 regulasi yaitu Prevention of Corruption Act rumusan
delik khusus dikalangan bisnis berupa penyuapan antara swasta dengan swasta,
dan untuk pegawai negeri delik suap diambil dari KUHP Singapura, hal ini
dikarenakan latar belakang negara Singapura adalah sebuah negara bisnis atau
dagang.
CPIB Singapura disebut sebagai model investigatif. Karakteristik CPIB
tergolong unik, yaitu dengan ukurannya yang relatif kecil yang menekankan pada
fungsi investigatif dan arah pemberantasan disesuaikan dengan kebijakan besar
pemerintah. Struktur organisasi CPIB Singapura, pada posisi puncak dijabat oleh
seorang Direktur, Deputi Direktur, dan Asisten Direktur. Bagian di bawahnya ada
3 (tiga) divisi atau bagian, yaitu bagian operasi (operation), bagian bantuan
operasi (operation support), bagian pencegahan (prevention).
Strategi pemberantasan korupsi di Singapura Strategi Singapura untuk
pencegahan dan penindakan korupsi fokus terhadap empat hal utama, yaitu,
Effective Anti-Corruption Agency; Effective Acts (or Laws); Effective
Adjudication; dan Efficient Administration yang keseluruhan pilar tersebut dilandasi
oleh strong political will against corruption dari pemerintah. Hal tersebut
dilakukan oleh pemerintahan dari People’s Action Party (PAP) setelah meraih
kekuasaan pada bulan Juni 1959 di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Pada masa
pemerintahan ini dibentuklah CPIB. Pada masa ini terdapat jumlah peningkatan
korupsi dan salah satu cara untuk memeranginya adalah dengan menaikkan gaji
pemimpin politik dan PNS.
Selain pemisahan lembaga dan political will yang kuat, kunci keberhasilan
CPIB dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu komitmen yang kuat dan
konsistensi dalam penanganan korupsi baik upaya preventif (pencegahan) maupun
represif (penindakan). CPIB didirikan dengan wewenang yang besar dalam
penindakan dan pencegahan. Contoh konkret yang dilakukan antara lain melakukan
penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan, dan yang terpenting
dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka
melarikan diri dari proses penuntutan.
Dilihat dari segi budaya, Singapura dengan political will, kesadaran
masayarakat dan sikap serta budaya profesionalisme sudah mendarah daging. Dari
segi peraturan, bahwa regulasi di Singapura lebih membedakan pada pemilahan
pelaku dari tindak pidana korupsi. Dari segi lembaga, Singapura hanya ada satu lembaga yang
berwenang penuh dalam pemberantasan korupsi yaitu CPIB.
Sistem pencegahan dan lembaga pemberantas korupsi di Korea
Selatan
Anti-corruption Training Institue (ACTI) adalah lembaga pelatihan untuk
masyarakat dan penyelenggara negara agar memiliki integritas yang lebih baik
dan menanamkan karakter antikorupsi. Ini adalah salah satu cara Korea Selatan untuk
mencegah korupsi dengan memberikan mereka pengetahuan dan pelatihan.
ACTI juga memberikan pelatihan yang menyenangkan kepada masyakarat dan
penyelenggara negara lewat sebuah konser musik, sebuah pertunjukan, diskusi
menarik bersama tokoh masyarakat yang inspiratif. Kegiatan itu disebut dengan
Integrity Concert, yaitu pelatihan integritas melalui medium seni. Pelatihan
Integrity Concert sangat popular dan disenangi di Korea Selatan. Pelatihan itu
menjadi menarik karena berbeda dengan jenis-jenis pelatihan yang ada sebelumnya
yang terkesan membosankan dan akan membuat masyarakat mengantuk.
Dalam mengatur sektor swasta, ACRC (Anti-Corruption and Civil Rights
Commission) membuat sebuah pedoman yang bernama Anti-corruption Guidelines for
Companies yang harus diterapkan di seluruh perusahaan yang ada di Korea
Selatan. Pedoman tersebut mengatur banyak hal yang dapat mencegah terjadinya
korupsi di sektor swasta. Peraturan tersebut juga terintegrasi dengan
aturan-aturan lain seperti kewajiban mengikuti pelatihan integritas dan
mengikuti aturan gratifikasi.
Buku panduan tersebut mengatur banyak hal secara rinci. Seperti dorongan
kepada setiap perusahaan untuk menggunakan kartu kredit untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan dana perusahaan dan mencegah terjadinya suap dengan
cara memberikan “hiburan” bagi penyelenggara Negara. Menurutnya dengan kartu
kredit, semua transaksi dapat dipantau dengan baik.
Asset Recovery yang dilakukan di Korea Selatan terhadap barang-barang hasil
tindak pidana. Penyidik Senior dari Kejaksaan Agung Korea Selatan Kim Hye Rin
menjelaskan pengendalian aset di Korea Selatan dilakukan secara terdata secara
online dalam sebuah sistem sehingga barang tersebut bisa dikelola dan
dikendalikan dengan baik.
Perbandingan Sistem Pencegahan Tindak Korupsi di Singapura,
Korea Selatan dan Indonesia
Berbeda dengan Singapura, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Singapura
memiliki regulasi dimana lebih membedakan pada pemilahan pelaku dari tindak
pidana korupsi. Sedangkan di Indonesia lebih membedakan pada delik yang
terjadi. Indonesia dengan KUHP secara umum untuk setiap orang dan UU Nomor 20
tahun 2001 untuk delik Tindak Pidana Korupsi dan juga UU Nomor 8 tahun 2010 untuk
delik Pencucian Uang.
Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif
atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal
Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa
inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan
kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara.
Di samping itu, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yaitu
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Secara eksternal terdapat lemaga swadaya masyarakat seperti ICW (Indonesian
Coruption Watch), tetapi dalam prakteknya lembaga-lembaga tersebut hanya
mengawasi dalam lingkup terbatas. Dalam hal aliran dana keuangan, di Indonesia
terdapat lembaga yang bertugas mengawasi aliran dana terutama dalam dunia
Perbankan yaitu PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan OJK
(Otoritas Jasa Keuangan). Dalam faktanya terdapat 3 lembaga yang secara nyata
terlihat dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia yaitu Kejaksaan,
KPK, dan POLRI.
Dari penjabaran diatas, seakan ada tumpang tindih kewenangan dalam
penanganan tindak pidana korupsi dalam satu negara. Selain itu di Indonesia
tidak ada kejelasan lembaga mana yang harusnya paling dominan dalam penanganan
kasus-kasus korupsi. Hal inilah yang menjadi tanda tanya besar, seakan dalam
penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia terjadi benturan dan saling rebut.
Ada 3 strategi yang dilakukan KPK dalam pencegahan tindak pindana korupsi, yaitu : pertama, strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya pencegahan. kedua, strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi. ketiga, strategi jangka panjang dengan mengybah budaya.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan segala kendala dalam
pemberantasan korupsi dinilai kurang efektif jika di banding dengan negara
lainnya. Upaya dan cara serta mekanisme pemberantasan korupsi yang selama ini
dilakukan oleh Indonesia adalah kurang efektif dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi. Berdasarkan data CPI yang bersumber dari Transparency Internasional
Indonesia hanya memiliki skor sebesar 37 dengan peringkat key 102. Dari sini
bisa kita lihat betapa jauh perbedaan yang terjadi di Indonesia dengan
Singapura dan Korea Selatan.
Dilihat dari segi budaya, kesadaran masyarakat Indonesia dan political will dari pemerintah masih belum maksimal sehingga sebagian masyarakat Indonesia menganggap korupsi merupakan hal yang wajar dan dalam penanganannya masih kurang profesional atau terkesan masih setengah-setengah. Dari segi lembaga, Indonesia memiliki tiga lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK yang terkesan mempunyai kewenangan sejajar dan sama dalam penanganan korupsi, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Referensi :
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/392-beda-korsel-dan-indonesia-berantas-korupsi
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1482-tiga-strategi-mencegah-korupsi
Hariadi, Tanjung
Mahardika. Hergia Lukman Wicaksono. 2013. PERBANDINGAN PENANGANAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN Indonesia. Recidive. Volume
2 No. 3 Sept.- Desember 2013. 265-279.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar