Kamis, 08 April 2021

PERBANDINGAN SISTEM PENCEGAHAN TINDAK KORUPSI DI SINGAPURA, KOREA SELATAN DAN INDONESIA

Pengertian korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi telah ada sejak lama dengan berbagai metode dan modus operandi yang digunakan yang telah bertransformasi seiring dengan perkembangan zaman, namun tak menghilangkan makna dasar dari tindak pidana korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.

Sistem pencegahan dan lembaga pemberantas korupsi di Singapura

Singapura hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yaitu CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi. Hasilnya pun juga sudah terlihat jelas bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi di kedua negara tersebut cukup efektif dan efisien. Berdasarkan data CPI (Corruption Perception Indeks) yang bersumber dari Transparency Internasional Singapura memiliki skor 85 dan berada pada peringkat ke-3.

Di Singapura regulasi untuk mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi dibagi menjadi 2 regulasi yaitu Prevention of Corruption Act rumusan delik khusus dikalangan bisnis berupa penyuapan antara swasta dengan swasta, dan untuk pegawai negeri delik suap diambil dari KUHP Singapura, hal ini dikarenakan latar belakang negara Singapura adalah sebuah negara bisnis atau dagang.

CPIB Singapura disebut sebagai model investigatif. Karakteristik CPIB tergolong unik, yaitu dengan ukurannya yang relatif kecil yang menekankan pada fungsi investigatif dan arah pemberantasan disesuaikan dengan kebijakan besar pemerintah. Struktur organisasi CPIB Singapura, pada posisi puncak dijabat oleh seorang Direktur, Deputi Direktur, dan Asisten Direktur. Bagian di bawahnya ada 3 (tiga) divisi atau bagian, yaitu bagian operasi (operation), bagian bantuan operasi (operation support), bagian pencegahan (prevention).

Strategi pemberantasan korupsi di Singapura Strategi Singapura untuk pencegahan dan penindakan korupsi fokus terhadap empat hal utama, yaitu, Effective Anti-Corruption Agency; Effective Acts (or Laws); Effective Adjudication; dan Efficient Administration yang keseluruhan pilar tersebut dilandasi oleh strong political will against corruption dari pemerintah. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintahan dari People’s Action Party (PAP) setelah meraih kekuasaan pada bulan Juni 1959 di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Pada masa pemerintahan ini dibentuklah CPIB. Pada masa ini terdapat jumlah peningkatan korupsi dan salah satu cara untuk memeranginya adalah dengan menaikkan gaji pemimpin politik dan PNS.

Selain pemisahan lembaga dan political will yang kuat, kunci keberhasilan CPIB dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu komitmen yang kuat dan konsistensi dalam penanganan korupsi baik upaya preventif (pencegahan) maupun represif (penindakan). CPIB didirikan dengan wewenang yang besar dalam penindakan dan pencegahan. Contoh konkret yang dilakukan antara lain melakukan penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan, dan yang terpenting dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan.

Dilihat dari segi budaya, Singapura dengan political will, kesadaran masayarakat dan sikap serta budaya profesionalisme sudah mendarah daging. Dari segi peraturan, bahwa regulasi di Singapura lebih membedakan pada pemilahan pelaku dari tindak pidana korupsi. Dari segi lembaga, Singapura hanya ada satu lembaga yang berwenang penuh dalam pemberantasan korupsi yaitu CPIB.

Sistem pencegahan dan lembaga pemberantas korupsi di Korea Selatan

Anti-corruption Training Institue (ACTI) adalah lembaga pelatihan untuk masyarakat dan penyelenggara negara agar memiliki integritas yang lebih baik dan menanamkan karakter antikorupsi. Ini adalah salah satu cara Korea Selatan untuk mencegah korupsi dengan memberikan mereka pengetahuan dan pelatihan.

ACTI juga memberikan pelatihan yang menyenangkan kepada masyakarat dan penyelenggara negara lewat sebuah konser musik, sebuah pertunjukan, diskusi menarik bersama tokoh masyarakat yang inspiratif. Kegiatan itu disebut dengan Integrity Concert, yaitu pelatihan integritas melalui medium seni. Pelatihan Integrity Concert sangat popular dan disenangi di Korea Selatan. Pelatihan itu menjadi menarik karena berbeda dengan jenis-jenis pelatihan yang ada sebelumnya yang terkesan membosankan dan akan membuat masyarakat mengantuk.

Dalam mengatur sektor swasta, ACRC (Anti-Corruption and Civil Rights Commission) membuat sebuah pedoman yang bernama Anti-corruption Guidelines for Companies yang harus diterapkan di seluruh perusahaan yang ada di Korea Selatan. Pedoman tersebut mengatur banyak hal yang dapat mencegah terjadinya korupsi di sektor swasta. Peraturan tersebut juga terintegrasi dengan aturan-aturan lain seperti kewajiban mengikuti pelatihan integritas dan mengikuti aturan gratifikasi.

Buku panduan tersebut mengatur banyak hal secara rinci. Seperti dorongan kepada setiap perusahaan untuk menggunakan kartu kredit untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dana perusahaan dan mencegah terjadinya suap dengan cara memberikan “hiburan” bagi penyelenggara Negara. Menurutnya dengan kartu kredit, semua transaksi dapat dipantau dengan baik.

Asset Recovery yang dilakukan di Korea Selatan terhadap barang-barang hasil tindak pidana. Penyidik Senior dari Kejaksaan Agung Korea Selatan Kim Hye Rin menjelaskan pengendalian aset di Korea Selatan dilakukan secara terdata secara online dalam sebuah sistem sehingga barang tersebut bisa dikelola dan dikendalikan dengan baik.

Perbandingan Sistem Pencegahan Tindak Korupsi di Singapura, Korea Selatan dan Indonesia

Berbeda dengan Singapura, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Singapura memiliki regulasi dimana lebih membedakan pada pemilahan pelaku dari tindak pidana korupsi. Sedangkan di Indonesia lebih membedakan pada delik yang terjadi. Indonesia dengan KUHP secara umum untuk setiap orang dan UU Nomor 20 tahun 2001 untuk delik Tindak Pidana Korupsi dan juga UU Nomor 8 tahun 2010 untuk delik Pencucian Uang.

Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Secara eksternal terdapat lemaga swadaya masyarakat seperti ICW (Indonesian Coruption Watch), tetapi dalam prakteknya lembaga-lembaga tersebut hanya mengawasi dalam lingkup terbatas. Dalam hal aliran dana keuangan, di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengawasi aliran dana terutama dalam dunia Perbankan yaitu PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Dalam faktanya terdapat 3 lembaga yang secara nyata terlihat dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia yaitu Kejaksaan, KPK, dan POLRI.

Dari penjabaran diatas, seakan ada tumpang tindih kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam satu negara. Selain itu di Indonesia tidak ada kejelasan lembaga mana yang harusnya paling dominan dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Hal inilah yang menjadi tanda tanya besar, seakan dalam penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia terjadi benturan dan saling rebut.

Ada 3 strategi yang dilakukan KPK dalam pencegahan tindak pindana korupsi, yaitu : pertama, strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya pencegahan. kedua, strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi. ketiga, strategi jangka panjang dengan mengybah budaya.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan segala kendala dalam pemberantasan korupsi dinilai kurang efektif jika di banding dengan negara lainnya. Upaya dan cara serta mekanisme pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh Indonesia adalah kurang efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Berdasarkan data CPI yang bersumber dari Transparency Internasional Indonesia hanya memiliki skor sebesar 37 dengan peringkat key 102. Dari sini bisa kita lihat betapa jauh perbedaan yang terjadi di Indonesia dengan Singapura dan Korea Selatan.

         Dilihat dari segi budaya, kesadaran masyarakat Indonesia dan political will dari pemerintah masih belum maksimal sehingga sebagian masyarakat Indonesia menganggap korupsi merupakan hal yang wajar dan dalam penanganannya masih kurang profesional atau terkesan masih setengah-setengah. Dari segi lembaga, Indonesia memiliki tiga lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK yang terkesan mempunyai kewenangan sejajar dan sama dalam penanganan korupsi, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.


Referensi :

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/392-beda-korsel-dan-indonesia-berantas-korupsi

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1482-tiga-strategi-mencegah-korupsi

www.transparency.org

Hariadi, Tanjung Mahardika. Hergia Lukman Wicaksono. 2013. PERBANDINGAN PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN Indonesia. Recidive. Volume 2 No. 3 Sept.- Desember 2013. 265-279.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar